Tuesday 4 December 2012

0
Komen

Anarkisme Akibat Lemahnya Penegakan Hukum

Di berbagai tempat kerap terjadi tindakan anarkis masyarakat.  Masyarakat kian sering main hakim sendiri.  Budaya kekerasan kian mengakar. Di antara pemicunya, lemahnya institusi hukum dalam menegakkan hukum.

Tudingan lemahnya institusi hukum sebagai biang kerok dari berbagai kekerasan yang terjadi diberbagai daerah. Bukan sekadar tudingan atau tuduhan tanpa bukti. Sebab, berbagai kekerasan yang terjadi, baik bertendensi agama, atau dengan bermotif lain, seperti; kecurangan pilkada, kecemburuan sosial, atau kenakalan remaja. Polisi selalu gagal menangkalnya, dan mencegah aksi brutal massa, yang mengakibatkan korban jiwa dan materi.

Hal ini, mengindikasikan institusi polri gagal dalam menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat. Padahal, polri dibentuk dan dibiayai oleh negara, sebagai sebuah institusi yang berada dibaris terdepan dalam menjaga keamanan masyarakat. Polisilah yang mendapat mandat dan legitimasi dari negara dalam menjaga keamanan, terutama melindungi masyarakat dari berbagai ancaman keamanan.

Tidak hanya gagal dalam mengendalikan aksi anarkis massa. Bahkan, dalam berbagai kasus, justru  polisi sendiri konflik dan bentrok dengan masyarakat. Misalnya saja, disetiap penanganan aksi demonstrasi mahasiswa yang ditangani polisi, nyaris semua berujung bentrok. Sekali lagi, indikasi ini memperliatkan lemahnya prosedur polisi dalam menangani aksi-aksi yang melibatkan massa banyak.

Meskipun, kurang bijak rasanya, apabila semua kesalahan dialamatkan polisi. Sebab polisi bukan satu-satunya institusi hukum, terdapat institusi lainnya, seperti kejaksaan, TNI. Bahkan, kalau ingin jujur, negara/pemerintah yang harus bertanggung jawab, dari berbagai tindakan anarkis masyarakat. Dengan kata lain, negara telah gagal memberi kepastian hukum, serta rasa keamanan masyarakat.

Butuh Ketegasan 

Berbicara tentang hukum, tidak bisa dipisahkan dengan sanksi. Hukum tidak mungkin ditegakkan, tanpa sanksi yang tegas. Disinilah salah satu kelemahan mendasar dari negara, dalam hal ini institusi hukum, seperti; polisi, TNI dan kejaksaan. Pemerintah tidak tegas dalam menerapkan sanksi kepada para pelanggar hukum, para pembuat onar di masyarakat.

Kasus kekerasan terhadap Jama’at Ahmadiyah misalnya. Bukanlah kasus yang berdiri sendiri, dan terjadi begitu saja. Tapi, kasus ini, adalah buah dari kekurang tegasan institusi hukum dalam mengawal produk hukum pemerintah. Polisi tidak tegas dalam menindak dan memberi sanksi kepada Jama’at Ahmadiyah, yang kerap melanggar SKB 3 Menteri, yang ditanda tangani Menteri dalam Negeri, Menteri Agama, dan Kejaksaan Agung.

Salah satu, poin dalam SKB 3 Menteri, adalah melarang Ahmadiyah dalam melakukan aktivitasnya. Pelarangan Ahmadiyah karena dianggap menodai ajaran Islam. Ahmadiyah mengaku agama Islam, tapi ajarannya bertentangan dengan ajaran Islam, seperti; mengakui Ghurza Gulam Ahmad sebagai Nabi, memiliki Kitab Suci (tadzkirah), memiliki kota suci sendiri. Meski, kesesatan tersebut dibantah Ahmadiyah, Hasil investigasi dan penelitian MUI pusat menemukan bahwa Ahmadiya sesat dan menyesatkan umat.

Namun, Jama’at Ahmadiyah yang tersebar diberbagai daerah di Indonesia, tidak menggubris SKB itu. Bak pameo, Anjing menggonggong kafilah berlalu. Malah, aktivitas dakwah dan penyebaran dakwahnya kian gencar. Ahmadiyah terus melakukan ekspansi dakwah  pelosok daerah.

Tindakan Ahmadiyah membuat umat Islam geram. Umat Islam tidak rela ajaran Islam dinodai. Namun, kejengkelan umat Islam tetap melalui jalur diplomasi, baik melalui peringatan, maupun dengan melaporkan ke aparat polisi. Lagi-lagi jalur tersebut, tidak terlalu berguna bagi Ahmadiyah. Ahmadiyah tidak bergeming, tetap menjalankan aktivitasnya.

 Anehnya lagi, aparat polisipun tidak bisa berbuat dan bertindak tegas. Padahal, aturannya sudah jelas, SKB 3 Menteri sudah dengan tegas melarang Ahmadiyah menjalankan aktivitas di tengah-tengah masyarakat. Sikap tidak tegas polisi dalam menegakkan aturan, dan menindak tegas Ahmadiyah yang melanggar SKB Menteri, membuat masyarakat kehilangan kesabaran. Tindakan anarkispun, tidak bisa dihindari, polisipun  gagal menghentikan amukan massa.

Andai saja, meski ajaran Islam melarang umatnya berandai-andai. Berbagai tindakan anarkis yang terjadi diberbagai daerah, baik bertendensi agama, kepentingan politik, serta konflik bernuansa SARA lainnya. Tidak akan terjadi, kalau polisi menegakkan hukum dengan tegas. Tanpa pandang bulu. Siapapun yang bersalah, ditindak tegas. Justru yang terjadi sekarang, hukum ditegakkan dengan memilih dan memilah.

Apabila yang melanggar masyarakat kecil, cepat dihukum, meski pelanggarannya tidak berat. Sebaliknya, bagi kelompok elitis, orang berduit, hukum dapat dibeli. Seperti itulah parade penegakan di Indonesia. Gayus yang menggelapkan dana negera hingga berpuluh-puluh miliyard dihukum 7 tahun penjara, ditambah dengan berbagai fasilitas yang berbeda dengan narapidana lainnya. Misalnya; perlakukan istimewa, bisa bertamasya keluar negeri.

Penegakan model hukum seperti ini, membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi hukum. Akhirnya, masyarakat cenderung main hakim sendiri, dapat pencuri dihakimi massa hingga meninggal. penegakan hukum di Indonesia, sungguh berbanding terbalik dengan penegakan hukum di masa pemerintahan Islam. Meski di Indonesia penduduknya mayoritas Islam.

Misalnya saja, di masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, ketika Rasulullah dilaporkan tentang pencurian. Rasulullah mengatakan seandainya Fathimah yang mencuri, maka Saya yang langsung memotong tangannya. Begitulah ketegasan Islam dalam hukum, siapapun akan dihukum, termasuk Fatimah anak tercinta Rasulullah.

Namun, ketegasan ajaran Islam dalam menegakkan hukum di tolak atas nama HAM. Para pejuang HAM, juga penjadi pelopor dan berada di garda depan dalam membela Ahmadiyah. Padahal, Ahmadiyah jelas ajaran sesat, menyesatkan masyarakat. Ajaran Ahmadiyah diberbagai negara yang mayoritas penduduknya Islam telah dilarang, seperti; di Malaysia, Brunai, Arab Saudi. Bahkan negara asalnya Pakistan. Ahmadiyah dilarang dan diusir, dan menjadikan London sebagai negara pusatnya sekarang.

Sebagai negara yang mayoritasnya Islam, Indonesia harus mencontoh negara lain, yang telah melarang ajaran Ahmadiyah. Menurut direktur Bandung Law Institute Syamsul Ma’arief, tindakan anarkis yang kerap dilakukan masyarakat terhadap Ahmadiyah, akibat kurang tegasnya pemerintah dalam melarang Ahmadiyah di Indonesia. Pemerintah cenderung memilih jalan tengah (aman) terhadap Ahmadiyah, dengan menerbitkan SKB 3 Menteri. Padahal, masyarakat menuntut ketegasan, yakni pembubaran Ahmadiyah.

Selama pemerintah tidak membubarkan Ahmadiyah, benih-benih konflik akan terus tumbuh. Ini akan menjadi bom waktu, akan timbulnya tindakan anarkis. Ujungnya akan menimbulkan korban jiwa, masyarakat sipil, yang tidak terlalu tahu persoalan. Skala konflik akan terus terjadi, cederung meluas, tidak hanya melibatkan kelompok yang bertikai, tapi masyarakat lainnya. Jika aparat kepolisian tidak sigap, dan tidak profesional dalam menangangi aksi massa di lapangan. 

Kurang Profesional

Tuntutan akan profesionalisme polisi dalam menangani kasus, bukanlah isapan jempol. Bahkan, tuntutan adalah sebuah keharusan bagi institusi Polri. Bagaimana tidak, apabila belajar dari berbagai kasus, yang ditangani polisi, tidak lepas dari kelalaian polisi, atau kurang profesionalnya polisi dalam menjalankan prosedur keamanan.

Bentrok yang terjadi, kerap justru dipicu kurang sigapnya polisi dalam menangani massa, serta proses negoisasi polisi dengan masyarakat yang kadang deadlock, tak membuahkan hasil. Misalnya saja, kasus bentrokkan Cikeusik. Menurut Direktur I Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Pol Agung Sabar Santoso, Kamis/17/2, sebagaimana dikutip di Rebublika online, salah satu tersangka Kepala Keamanan Nasional Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), Deden Sujana yang memimpin rombongan dari jakarta ke Cikeusik.

Sebelum bentrok, Deden terekam dalam sebuah video sedang melakukan negoisasi dengan polisi setempat. Dalam rekaman tersebut, Deden menolak ajakan polisi di evekuasi. Bahkan, Deden meminta dibiarkan terjadi bentrok. Seandainya polisi profesional dalam bertindak, polisi akan memaksa mengevakuasi massa, dan menangkap Deden sebelum bentrok, sebab dialah dalang bentrok, pertama dia membawa massa, juga pernyataan yang memancing emosi orang lain.

Namun, lagi-lagi polisi tidak bertindak tegas, maka bentrokpun tidak bisa terelakkan lagi, korbanpun berjatuhan, baik materi, hingga menimbulkan korban jiwa. Ke depan polisi harus profesional, dalam bertindak dan bersikap. Apatahlagi, dalam berhadapan massa di lapangan. Di satu sisi polisi tetap harus bertindak hukum sesuai prosedur hukum. Di sisi yang lain, proses negoisasi dengan kepala dingin dan akal sehat, tetap dikedepankan. Meski, proses negoisasi acapkali deadlock, dan berujung bentrok.

Olehnya itu, institusi Polri perlu memberi pelajaran dan membekali anggotanya. Terutama dalam seni bernegoisasi, teknik berkomunikasi dengan baik, serta belajar terapi fsikologi. Kurangnya pemahaman polisi dalam bernegoisasi, berkomunikasi dan mengetahui psikologi, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan polisi menangani kasus. Banyak persoalan yang sebenarnya sepele, tapi polisi tidak pintar bernegoisasi, kurang cakap berkomunikasi, tidak paham dengan psikologi massa, menimbulkan persoalan yang berskala besar. Misalnya; kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, kasus pilkada, serta demonstrasi mahasiswa yang kerap berujung bentrok.

Tentu saja, menyalahkan polisi sendiri, dari berbagai bentrokkan yang kerap terjadi, tidaklah bijak. Sebab, polisi adalah sebuah bagian dari sistem bernegara. Polisi hanya tunduk dari sebuah prosedur, dan perintah dari atasannya, dalam hal ini Presiden, serta komponem lainnya, MPR, DPR, dan institusi negara lainnya. Polisi bukanlah kambing hitam dari semua kejadian ini. Tapi, para pemimpin harus mengoreksi diri, sejauh mana pelaksanaan dan  penerapan hukum yang telah disepakati. 

Belajar dari Negara Lain 

Sebenarnya setiap negara memiliki benih-benih konflik, termasuk konflik agama. Meski konflik dinegara lain, tidak begitu menimbulkan efek yang besar bagi negaranya. Hal ini, tidak lepas dari kecakapan negara lain, dalam mengelola issu, dan meredam konflik tersebut.

Melihat keberhasilan negara lain mengelola issu, serta meredam konflik horisontal dan vertikal di negaranya. Pemerintah Indonesia harus belajar banyak. Menangani konflik agama misalnya, Indonesia perlu belajar pada negara tetangga Malaysia.

Di Malaysia pelecehan dan penodaan agama manapun sangat berat. Undang-undang Malaysia yang diberi nama Undang-undang Akta Hasutan, bertujuan membendung  ketegangan dan konflik agama di Malaysia. 

Bagi pemerintah Malaysia, siapa yang melanggar undang-undang tersebut, apabila ada yang melanggar dan menyebarkan ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, akan ditangkap, diproses di Mahkamah dan di penjara. Begitulah ketegasan negara Malaysia, begitu juga di negara lain, seperti; di Pakistan, Saudi Arabia, Brunei, serta negara lainnya.

Hal ini, berbeda di Indonesia. Di Indonesia, setiap orang bisa seenaknya melecehkan agama, baru bisa di tangkap kalau ada yang mempersoalkan. Itupun kalau cepat ditindak. Wajar kalau di Indonesia, aliran sesat tumbuh subur, hampir setiap saat muncul aliran sesat. Ahmadiyah yang sudah berpuluh tahun dinyatakan sesat, tetap saja eksis karena pemerintah tidak bertindak tegas dan membubarkannya 

Ke depan, jika bangsa Indonesia ingin keluar dari berbagai konflik, baik yang bernuansa SARA, konflik politik, kriminal murni. Solusi yang paling efektif, adalah bertindak tegas dalam penerapan hukum, tindak tegas yang melanggar hukum, agar konflik horisontal tidak mengancam eksistensi bangsa dan negara, yang hanya mengakibatkan kesengsaraan rakyat.

 

No comments:

Post a Comment

Copyright© Hasil Nukilan : Burhanuddin