Islam bukan sekadar Agama teologi yang
dogmatis. Tapi ajaran Islam mengandung nilai-nilai aplikatif, sempurna, yang
mengatur konsep hidup, mulai dari yang terbesar hingga terkecil.
Konsep Islam dalam kehidupan telah
termaktub dalam Al Qur’an dan Hadits, yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam, yang dilanjutkan oleh para sahabat Assalafu shaleh. Konsep-konsep
hidup tersebut, terutama berkenaan dengan akhlak dalam pergaulan dan kehidupan
sehari-hari.
Konsep akhlak tersebut, bak mutiara yang tetap terjaga dan
dilaksanakan umat Islam hingga hari ini, dan sampai roda dunia masih berputar.
Selama kaum muslimin masih tetap berpegang teguh dengan dua kitabnya, Al Qur’an
dan Hadits. Selama itu pula konsep akhlakul kharimah Islam akan tetap menjadi
pedoman dasar kaum muslimin dalam menjaga hubungan manusia, tanpa
membeda-bedakan Suku, Agama dan Ras.
Hubungan dengan Manusia
Islam sebagai agama yang paripurna dan
sempurna. Tidak hanya, menjaga hubungan secara vertikal (hubungan dengan
Allah), yang mengabaikan hubungan horisontal (hubungan dengan manusia). Sama
sekali tidak. Sebaliknya, Islam tetap menekankan kewajiban beribadah kepada
Allah. Namun, kewajiban berbuat baik kepada manusia, tetap harus di jaga.
Begitu banyak dalil dan nash-nash dalam
Al Qur’an dan hadits, yang menjelaskan tentang hubungan baik dan berakhlakul
karimah kepada manusia. Bahkan Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam di
utus kebumi ini untuk menyempurnakan akhlak manusia. “Hanyalah aku diutus (oleh
Allah) untuk menyempurnakan akhlak.” (HR.Ahmad, lihat
Ash Shahihah oleh Asy Syaikh al Bani no.45 dan beliau menshahihkannya).
Logika sederhananya, jika Allah Azza
Wajalla mengutus Rasulullah sebagai penyempurna akhlak bagi manusia. Tentu
saja, Rasulullah lebih sempurna akhlaknya. Pengakuan akan kesempurnaan Akhlak
Rasulullah termaktub dalam Firmannya; “Sesungguhnya engkau (Muhammad)
benar-benar berakhlak yang agung” (QS; Al Qalam : 4).
Keagungan akhlak Rasulullah, bukan hanya diperuntukkan
bagi kaum muslimin. Tapi bagi seluruh umat manusia. Hal telah dicontohkan oleh
Rasulullah dalam kehidupannya. Tersebutlah sebuah kisah di masa kehidupan
Rasulullah, ada tetangganya, seorang Yahudi. Acapkali tetangga Yahudi
Rasulullah melemparkan tahi pada Rasulullah. Bahkan suatu ketika tahi tersebut
mengenai dada Rasulullah, membuat putri nya Fatimah naik pitam, dan mengutuk
Yahudi tersebut. Namun, Rasulullah tetap bersabar.
Sampai suatu ketika, Orang Yahudi ini, tidak melempari Rasulullah tahi. Rasulullah
malah heran, dan bertanya-tanya, kenapa tidak datang melemparinya. Usut punya
usut. Ternyata orang Yahudi tidak datang melempari tahi Rasulullah karena
sakit. Mendengar khabar tersebut, Rasulullah langsung menjenguk Yahudi
tersebut. Yahudi tersebut kagum akan akhlak Rasulullah. Betapa tidak, orang
yang selalu di lempari tahi, malah datang menjenguknya ketika sakit. Akhirnya,
yahudi tersebut menyatakan masuk Islam dan bersyahadat di depan Rasulullah.
Sepenggal kisah di atas, bukanlah kisah
satu-satunya kisah yang menceritakan akhlakul kharimah Rasulullah, serta
sahabat-sahabat lainnya. Cerita di atas di angkat membuktikan bahwa
sesungguhnya Islam telah mengajarkan akhlak yang mulia. Akhlak yang terpuji
kepada seluruh makhluk ciptaan Allah.
Dalam berinteraksi dan bergaul dengan
binatang, Rasulullah telah mengajarkan akhlak yang terpuji. Misalnya saja;
dalam menyembeli binatang, Rasulullah mengajarkan supaya menggunakan pisau yang
tajam. Tujuannya agar binatang yang disembeli tidak tersiksa.
Beginilah Islam mengajarkan kepada umatnya
dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Pola Interaksi yang termaktub dalam Al
Qur’an dan Al Hadits, yang dicontohkan oleh Rasulullah. Bukan hanya pola
interaksi dengan manusia semata. Tapi, juga dengan makhluk lainnya, dengan binatang,
tumbuhan, hingga makhluk tidak hidup sekalipun.
Terlebih lagi pola interaksi antara manusia
dengan manusia lainnya. Muslim atau non muslim diatur sedemikian rupa dalam
Islam. Mulai dari persoalan sepele hingga persoalan besar. Sebut saja,
persoalan buang air kecil, dilarang buang kecil di tempat terbuka dan berdiri,
masuk WC dengan kaki kiri, keluar dengan kaki kanan, yang disertai dengan baca
doa.
Apabila Islam begitu terperinci mengatur
kehidupan, yang biasa disepelekan seperti buang air kecil tadi. Lalu bagaimana
dengan kehidupan yang lebih besar? Bagaimana pola interaksi yang rawan dengan
gesekan-gesekan dan konflik? Apakah Islam mengatur juga?
Jawabannya sangat jelas, Islam mengatur
dengan gamblang dan terperinci. Pola kehidupan bertetangga adalah salah satu
pola kehidupan yang rawan dengan gesekan. Dalam persoalan ini, banyak dalil
dalam Al Qur’an yang menjelaskan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam bersabda yang maknanya, “Tidak beriman seseorang, apabila
tetangganya tidak tenang/terganggu, yang disebabkan mulutnya”.(tolong cari
perawinya, serta arti sebenarnya)
Sekali lagi beginilah Islam sangat
memperhatikan pola interaksi umatnya. Sampai-sampai kerukunan hidup dengan
tetangga dikaikan dengan keimanan. Bahkan, Allah Azza wajalla, lewat RasulNya
mengancam, bahwa tidak beriman seseorang apabila kerap mengganggu tetangganya.
Olehnya itu dalam Islam diajarkan akhlak
bertetangga. Tanpa pandang bulu, baik yang muslim ataupun non muslim. Seorang muslim dilarang mengganggu
tetangga, dilarang mengambil barang tetangga tanpa izin, masuk kerumahnya harus
minta izin dan mengucapkan salam.
Masih banyak yang lain, pola-pola interaksi
dalam kehidupan bertetangga. Terlebih lagi, dalam interaksi kehidupan di
lingkungan yang lebih luas. Sebagaimana sabda Rasulullah; “Salah satu cabang
dari keimanan adalah menyingkirkan duri di jalanan”. (tolong juga cari arti
lengkapnya, serta perawinya).
Dalam lingkup interaksi yang lebih luas,
dalam kehidupan bernegara Islam juga telah mengatur dan mengajarkan pada
umatnya. Islam mengatur bagaimana berakhlak dengan baik dengan pemimpin,
bagaimana pemimpin berakhlak kepada orang yang dipimpinnya. Semuanya ada
dijelaskan dalam banyak ayat dalam Al Qur’an dan Hadits, yang disertai dengan
contoh dari Rasulullah, sahabat, serta para ulama hingga sekarang.
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. An-Nisa;
59)
Ayat di atas betapa gamblang menggambarkan etika dan
akhlak kepada pemimpin. Seorang yang dipimpin (masyarakat) tetap punya peluang
berbeda pendapat dengan pemimpinnya. Perbedaan pendapat tersebut, tidak membuat
mereka bermusuhan. Apalagi, saling menjatuhkan, saling mendzhalimi satu sama
lain. Sama sekali dalam Islam tidak dibolehkan.
Sebaliknya, perbedaan tersebut dimusyawarakan agar
didapatkan titik temu, yang tidak merugikan, saling menguntungkan kedua belah
pihak. Landasan yang dipakai dalam mengukur kebenaran dan mencari titik temu
tersebut, tetap mengacu pada Al Qur’an dan Hadits.
Begitu juga sebaliknya. Pemimpin juga harus
mempergauli orang yang dipimpinnya. Menyayanginya,. Menghormatinya, serta
mendoakan keselamatannya. Hal ini ditegaskan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya; ”pemimpin-pemimpinmu yang paling baik adalah orang yang engkau sayangi
atau kasihi dan ia menyayangimu (mengasihimu) dan yang engkau do’akan dengan
keselamatan dan merekapun mendo’akanmu dengan keselamatan. Dan
pemimpin-pemimpinmu yang paling jahat (buruk) ialah orang yang engkau benci dan
ia membencimu dan yang engkau laknati serta mereka melaknatimu. Lalu kami (para
sahabat) bertaya kepada Rasulullah SAW: Wahai Rasulullah! Apakah tidak kami
pecat saja mereka? Rasulullah menjawab: jangan ! selagi mereka masih mendirikan
salat bersama kamu sekalian”
Dalam hadits yang lain, yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim Rasulullah SAW
bersabda:”Siapa saja yang membenci atau tidak menyukai sesuatu dari tindakan
(pemimpin) maka hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya orang yang meninggalkan
(belot) dari kepemimpinan (jama’ah) walaupun hanya sejengkal maka matinya
tergolong dalam mati orang jahiliyah”.“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa; 59)Ayat di
atas betapa gamblang menggambarkan etika dan akhlak kepada pemimpin. Seorang yang
dipimpin (masyarakat) tetap punya peluang berbeda pendapat dengan pemimpinnya.
Perbedaan pendapat tersebut, tidak membuat mereka bermusuhan. Apalagi, saling
menjatuhkan, saling mendzhalimi satu sama lain. Sama sekali dalam Islam tidak
dibolehkan.Sebaliknya,
perbedaan tersebut dimusyawarakan agar didapatkan titik temu, yang tidak
merugikan, saling menguntungkan kedua belah pihak. Landasan yang dipakai dalam
mengukur kebenaran dan mencari titik temu tersebut, tetap mengacu pada Al
Qur’an dan Hadits.
Begitu
juga sebaliknya. Pemimpin juga harus mempergauli orang yang dipimpinnya.
Menyayanginya,. Menghormatinya, serta mendoakan keselamatannya. Hal ini
ditegaskan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya; "pemimpin-pemimpinmu
yang paling baik adalah orang yang engkau sayangi atau kasihi dan ia
menyayangimu (mengasihimu) dan yang engkau do’akan dengan keselamatan dan
merekapun mendo’akanmu dengan keselamatan. Dan pemimpin-pemimpinmu yang paling
jahat (buruk) ialah orang yang engkau benci dan ia membencimu dan yang engkau
laknati serta mereka melaknatimu. Lalu kami (para sahabat) bertaya kepada
Rasulullah SAW: Wahai Rasulullah! Apakah tidak kami pecat saja mereka?
Rasulullah menjawab: jangan ! selagi mereka masih mendirikan salat bersama kamu
sekalian"
Dalam hadits yang lain, yang diriwayatkan Bukhari dan
Muslim Rasulullah SAW bersabda:”Siapa
saja yang membenci atau tidak menyukai sesuatu dari tindakan (pemimpin) maka
hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya orang yang meninggalkan (belot) dari
kepemimpinan (jama’ah) walaupun hanya sejengkal maka matinya tergolong dalam
mati orang jahiliyah”.
Dua hadis
di atas menjelaskan pola hubungan yang baik antara pemimpin dan rakyatnya.
Pemimpin harus orang yang baik dan menyayangi rakyat serta rakyat menyayanginya.
Apabila ada sesuatu yang tidak disukai oleh rakyat pada pemimpinnya. Rakyat
tidak diizinkan memecatnya, selama pemimpin masih melaksanakan shalat bersama
rakyatnya.
Begitulah
akhlak Islam dalam mengatur pola dan interaksi umatnya, baik sesama manusia,
atau dengan makhluk lainnya. Islam menekankan prinsip saling menghormati,
saling menyayangi, tidak saling mencaci, dan mendzhalimi. Sehingga, tudingan
bahwa Islam ajaran keras, umatnya kerap berbuat anarkis, teroris dan melanggar
HAM. Adalah tudingan tidak benar, tendensius, yang bertujuan mendeskreditkan
Islam.
Andai
saja ada yang berbuat seperti itu. Pasti mereka tidak memahami Islam secara
benar. Menyalahi ajaran Islam. Islampun tidak bisa disalahkan atas perbuatan
mereka. Seperti halnya yang lain. Jika, oknumnya berbuat, tidak bisa serta
merta disalahkan agama atau institusinya.
Tegas
dalam Aqidah
Sekali
lagi. Islam bukanlah agama anarkis. Islam adalah yang mengajarkan akhlak yang
mulia, kasih sayang dan kelemahlembutan. Islam mengajarkan bergaul dengan
manusia, dengan non muslim sekalipun. Dalam persoalan muamalah, Islam terbuka
dengan siapaun, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Meskipun
begitu tidak berarti Islam, agama yang tidak bisa tegas. Dalam persoalan
Aqidah, Islam sangat tegas, tanpa
kompromi, dan tidak tawar menawar. Islam menganut prinsip. “Untukmu agamamu dan
untukku agamaku”. Islam tidak akan mencampuradukkan dengan aqidah agama lain.
Islam
berlemah-lembut dalam interaksi sosial, tegas dalam persoalan Aqidah. Inilah
prinsip ajaran Islam dalam berinteraksi sosial dengan masyarakat. Prinsip ini
harus dipegang teguh oleh setiap kaum muslimin, agar bisa selamat kehidupan
dunia dan akhirat.
(Antang, Rabu/2 Maret 2011/Burhanuddin)
No comments:
Post a Comment